Pages

Subscribe:

Labels

Top Stories

Labels

Categories

Blogger templates

Blogger templates

Mengenai Saya

Foto saya
just the smile and the rain is gone

Pengikut

Blogger news

Rabu, 21 Desember 2011

WEBBER (VERSTEHEN)

MAX WEBER

A.    Biografi Max Weber

            Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 april 1864, dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perbedaan tajam antara kedua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga, dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orang tuanya, sebagai anak weber dihadapkan pada pilihan yang sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada orientasi hidup ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukkan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat sosial ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun, hal tersebut cepat setelah ia tertarik pada car hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan yang penuh persaingan, tempat ayhnya dulu juga terlibat.setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk mengambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap di sana selama hampir delapan tahun. Kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doktor, menjadi pengacara.
B. Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Max Weber
            Dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904-05/1958), ia memberikan perhatian pada agama Protestan, terutama sebagai sistem ide, dan dampaknya terhadap kelahiran sistem gagasan lain, “semangat kapitalisme”, dan pada akhirnya, dampak yang ditimbulkan terhadap sistem ekonomi. Weber memiliki minat serupa terhadap agama-agama dunia lainnya, dengan melihat bagaimana sifat agama-agama tersebut menghambat perkembangan kapitalisme pada masyarakat tempat agama tersebut tumbuh. Berdasarkan karya ini, beberapa ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx.
            Pandangan kedua tentang hubungan Weber dengan Marx, yang menyebutkan bahwa Weber sebetulnya tidak berlawanan dengan Marx karena ia justru melengkapi perspektif teoretisnya. Dalam hal ini Weber dipandang lebih banyak bekerja di dalam tradisi Marxian daripada menentangnya. Karyanya tentang agama, yang ditafsirkan dari sudut pandang ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa bukan hanya faktor materi yang mempengaruhi ide, namun ide juga mempengaruhi struktur materi.
            Kedua pandangan yang disinggung di atas mengakui arti peran penting teori MWeber arxian bagi Weber. Kedua posisi tersebut sama-sama benar; di beberapa titik tertentu, Weber memang menentang Marx, sementara di titik lain, ia memperluas gagasan Marx. Namun, pandangan yang ke tiga dari masalah ini memberikan penjelasan yang lebih baik perihal hubungan Marx dan Weber. Pandangan yang terakhir ini, memandang Marx hanya sebagai salah satu faktor yang memepengaruhi pemikiran Weber.
            Diantara pemikir yang paling menonjol pengaruhnya terhadap Weber adalah filsuf Immanuel Kant (1724-1804). Namun, kita tidak boleh mengesampingkan dampak Friedrich Nietzsche (1844-1900) (Antonio, 2001) khususnya penegasannya tentang pahlawan terhadap karya Weber tentang kebutuhan individu untuk melawan dampak birokrasi dan struktur lain masyarakat modern. Pengaruh Immanuel Kant terhadap Weber dan sosiologi Jerman pada umunya menunjukkan bahwa sosiologi Jerman dan Marxisme tumbuh dari akar-akar filosofis yang berlainan
A.    Warisan idealisme Historisme Jerman
Warisan idealisme historisisme Jerman pada disiplin sosiologi akan menempatkan Max Weber sebagai pencetus utamanya. Sebagai salah satu pemikir utama bidang sosiolgi yang berasal dari Jerman, Weber mewariskan idealisme historisisme melalui pemikirannya sebagai seorang sosiolog historis. Pandangan ini membawa kembali pada awal mula pembahasan Weber akan hubungan sejarah dengan sosiologi. Meskipun ia seorang mahasiswa hukum, karier awalnya didominasi oleh minat pada bidang sejarah yang terwujud pada karya disertasi doktoralnya yaitu studi historis tentang Zaman Pertengahan dan Romawi. Lambat laun ia beralih ke sosiologi sampai pada tahun 1909 Weber mulai menulis karya besarnya, Economy and Society.
Weber berusaha mengklarifikasi bidang barunya itu dengan menjembatani antara sejarah dengan sosiologi sebagai dasar kajian pada bidang sosiologi sendiri. Hal ini seperti tertuang dalam pandangan hematnya bahwa sosiologi bertugas melayani sejarah. Weber menjelaskan perbedaan antara sosiologi dengan sejarah: “Sosiologi berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris. Ini berbeda dengan sejarah, yang berorientasi pada analisis kasual dan penjelasan atas tindakan, struktur, dan kepribadian individu yang memiliki signifikansi kultural”. Meskipun membuat perbedaan, Weber mampu mengkombinasikan keduanya untuk membuat sosiologinya berorientasi pada pengembangan konsep yang jelas sehingga ia dapat melakukan analisis kausal terhadap fenomena sejarah. Weber mendefinisikan prosedur idealnya sebagai “perubahan pasti peristiwa-peristiwa konkret individual yang terjadi dalam realitas sejarah menjadi sebab-sebab konkret yang ada secara historis melalui studi tentang data empiris pasti yang telah diseleksi dari sudut pandang spesifik”. Prosedur ideal inilah yang menjadi sebuah idealisme historis Jerman yang dicetuskan dan dikaji oleh Max Weber sendiri sebagai dasar studi sosiologisnya dan diwariskan pada studi-studi sosiologi dunia.
Pemikiran weber tentang sosiologi dibangun dengan keluar dari pemikiran-pemikiran pada debat intelektual (Methodenstreit) yang pada waktu itu terbagi menjadi dua kubu. Yang pertama adalah kubu positivis yang memandang sejarah tersusun berdasarkan hukum-hukum umum (pandangan nomotetik) dengan kubu subjektivis yang menciutkan sejarah menjadi sekedar tindakan dan peristiwa idiosinkratis (pandangan idiografis). Weber menolak kedua kubu ekstrim tersebut dan berusaha mengembangkan cara tersendiri untuk menangani sosiologi historis. Menurut Weber, sejarah terdiri dari sejumlah peristiwa empiris unik ; tidak mungkin ada generalisasi pada level empiris. Dengan demikian, sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun dapat digunakan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik atas realitas. Dengan konsep-konsep ini, sosiolog dapat mengembangkan generalisasi, namun generalisasi-generalisasi tersebut bukanlah sejarah dan tidak boleh dicampur adukan dengan realitas empiris.
Weber menawarkan perspektifnya sendiri yang merupakan gabungan dari dua orientasi dua kubu tersebut. Weber merasa bahwa sejarah itu (sosiologi historis) membahas individualitas dan generalitas. Penyatuan dilakukan melalui perkembangan dan pemanfaatan konsep umum (tipe-tipe ideal) dalam studi terhadap individu, peristiwa, atau masyarakat tertentu. Konsep-konsep umum ini digunakan untuk “mengidentifikasi dan mendefinisikan individualitas pada setiap perkembangan, karakteristik yang membuat orang melahirkan kesimpulan sengan cara yang berbeda dari orang lain. Setelah dilakukan, kemudian orang dapat menentukan sebab-sebab yang mengarah pada perbedaan-perbedaan ini”. Untuk itu Weber menolak gagasan untuk mencari agen kausal tunggal sepanjang perjalanan sejarah, tetapi menggunakan perangkat konseptualnya untuk menilai beragam faktor dalam kasus historis menurut signifikansi kausalnya.
Weber merupakan generasi pertama ilmuan yang memiliki data yang dapat diandalkan tentang fenomena sajarah dari berbagai belahan dunia dan cenderung menyibukan dirinya dengan data historis ini ketimbang dengan memimpikan generalisasi jejak dasar sejarah. Meskipun membawanya pada sejumlah pandangan penting, hal ini pun menciptakan masalah serius dalam memahami karyanya; seringkali ia terlibat begitu dalam pada detail historis sehingga alasan dasarnya dalam melakukan studi sejarah menjadi tidak terlihat. Selain itu, persebaran studi sejarahnya meliputi begitu banyak epos dan masyarakat sehingga ia tidak dapat berbuat banyak selain melakukan generalisasi kasar. Singkatnya, Weber percaya bahwa sejarah terdiri dari bentangan fenomena spesifik yang tiada habisnya. Menurutnya tugas sosiologi adalah mengembangkan konsep-konsep yang digunakan sejarah dalam analisis kausal tentang fenomena historis spesifik. Untuk itu, Weber berusaha mengkombinasikan yang spesifik dan yang umum dalam upayanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakekat kehidupan sosial yang begitu kompleks.


B.     Sosiologi Interpretatif (Verstehen)
Max Weber menawarkan model analisis sistem simbol dengan pendekatanVerstehen (pemahaman) yang memungkinkan orang untuk bisa menghayati apa yang diyakini oleh pihak lain tanpa prasangka tertentu. Dalam tradis Verstehen, jika obyeknya adalah sistem budaya, maka bisa dipihal antara tradisi agung (great trdition) dan tradisi rendah (litlle tradition).
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan  sosial. Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Intrspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol.
Tindakan Subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “ obyektif” hanya berhubungan dengan gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subyektif “ berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya.
Memahami reaitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Metode yang dikembangkan oleh Weber adalah Verstehen, karena menurutnya sosiologi juga adalah manusia yang mengapresiasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh sebab itu berupaya memahami tindakan mereka, sehingga konsep inilah yang dapat membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu sosial.
Verstehen adalah suatu metode pendekatan yag berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa social dan histori. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi social didukung oleh jaringan makna yang di buwat oleh actor yang terlibat di dalamnya. Yang menjadi inti dari sosiologi bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yangnyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan subyektif itu yang di sebut dengan Verstehende sociologie.

C.      Pemikiran Sosiologis Max Weber mengenai kelas, status, kekuasaan dan masalah rasionalitas
            Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
            Berlawanan denga kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber  sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
            Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat.  Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.      Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.      Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
            Dalam  patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
            Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
3.     . Charismatic authority,  yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku,  pemimpin partai, dan sebagainya
            Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan “rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
            Tipe-tipe rasionalitas. Tipe pertama rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
            Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
            Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantive melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.




2 komentar:

Unknown mengatakan...

sumbernya apa min?

sachingabrielse mengatakan...

All You Need to Know about the Casino - One of the Best
When you're looking to bet 해외 토토 배당 your life, 유흥 싸이트 you're missing out. Here are 스포츠토토 배당률 the 10 best casinos with 텍사스 홀덤 족보 slot 강인경 마루에몽 machines, roulette, blackjack,

Posting Komentar