Pages

Subscribe:

Labels

Top Stories

Labels

Categories

Blogger templates

Blogger templates

Mengenai Saya

Foto saya
just the smile and the rain is gone

Pengikut

Blogger news

Rabu, 21 Desember 2011

AUGUSTE COMTE

A.    Biografi singkat karir Auguste Comte

Auguste Comte lahir di Montpeller, Prancis, pada tanggal 19 Januari 1798 (Pickering,1993: 7). Orang tuanya berasal dari kelas menengah dan akhirnya sang ayah meraih posisi sebagai petugas resmi pengumpul pajak local. Meskipun seorang mahasiswa yang cerdas, Comte tidak pernah mendapatkan ijazah sarjana.Ia dan seluruh mahasiswa seangkatannya dikeluarkan dari Ecole Polytechnique karena gagasan politik dan pembangkangan mereka. Pemberhentian ini berdampak buruk pada karir akademis Comte. Pada tahun 1817 ia menjadi sekretaris (dan “anak angkat” [Manuel, 1962:251]) Claude Henri Saint-Simon, seorang filsuf yang empat puluh tahun lebih tua dari Comte. Mereka bekerja sama selama beberapa tahun dan Comte mengakui besarnya utang pada Saint-Simon. Namun pada tahun1824 mereka bertengkar karena Comte yakin bahwa Saint-Simon ingin menghapuskan nama Comte dari daftar ucapan terima kasihnya. Kemudian Comte menulis bahwa hubungannya dengan Saint-Simon “mengerikan” sebagai “penipu hina” (Durkheim, 1928/1962:144). Pada tahun 1852, Comte berkata tentang Saint-Simon, “aku tidak berutang apapun pada orang ini” (Pickering,1993:240).
Heilbron (1995) mengambarkan Comte bertubuh pendek (mungkin 5 kaki 2 inci), dengan mata juling, dan sangat gelisah dengan situasi sosial disekitarnya, khususnya ketika menyangkut perempuan.Ia juga terasing dengan masyarakat secara keseluruhan. Kegelisahan pribadi yang dialami Comte berlawanan dengan rasa aman yang begitu besar terhadap kapasitas intelektualnya, dan tampak bahwa rasa percaya begitu kuat:
Ingatan Comte yang luar biasa begitu tersohor. Didukung dengan ingatan fotografis ia dapat mengucapkan kembali setiap kata yang telah ia baca meski hanya sekali. Kekuatan konsentrasinya begitu hebat sehingga ia dapat menggambarkan seluruh buku tanpa menuliskan catatan sedikitpun. Seluruh kuliah disampaikan tanpa catatan. Ketika ia duduk menulis buku-bukunya, ia menulis semua yang ada dalam ingatannya. (Schweber, 1991: 134).
Pergaulan Comte dengan gadis – gadis juga mendatangkan relevansi untuk memahami evolusi dalam pemikiran Comte, khususnya perubahan dalam tekanan tahap – tahap akhir kehidupannya dar positivisme ke cinta. Comte menikahi wanita bernama Caroline Massin (1825) yang merupakan mantan wanita tuna susila, yaitu seseorang yang telah lama menanggung beban emosional dan ekonomi dengan Comte. Pada tahun 1826, Comte mengelola satu skema yang akan digunakannya untuk menyampaikan serangkaian 72 kuliah umum tentang filsafat-filsafatnya. Kuliah ini menarik audiens luar biasa banyaknya, namun diberhentikan pada kuliah ketiga saat Comte menderita gangguan jiwa.Ia terus mengalami masalah mental, dan pada tahun 1827 ia pernah mencoba bunuh diri (meski gagal) dengan melemparkan dirinnya ke sungai Seine. Sesudah Comte keluar dari rumah sakit, istrinya merawat Comte dengan tulus tanpa penghargaan dari Comte bahkan kadang Comte bersikap kasar padanya. Setelah pisah untuk sesaat lamanya, istrinya pergi dan meninggalkan Comte sengsara dan gila.
Meskipun ia tidak dapat memperoleh posisi regular di Ecole Polytechnique, Comte mendapatkan posisi minor sebagai asisten pengajar pada tahun 1832. Pada tahun 1837, Comte mendapatkan posisi tambahan sebagai penguji ujian masuk, dan untuk pertama kalinya, ini memberikan pendapat yang memadai (ia sering kali tergantung secara ekonomis pada keluarganya sampai saat itu). Selama kurun waktu tersebut, Comte mengerjakan enam jilid karya yang melambungkan namanya.Cours de Philosophie Positive, yang secara keseluruhan terbit pada tahun 1842 (jilid pertama terbit pada tahun 1830).Dalam karya ini Comte memaparkan pandangannya bahwa sosiologis adalah ilmu tertinggi. Ia juga menyerang Ecole Polytechnique dan hasilnya adalah pada tahun 1844 pekerjaanya sebagai asisten tidak diperpanjang.tahun 1851 ia menyelesaikan empat jilid bukuSysteme de Politique Positive, yang lebih bertujuan praktis, dan menawarkan rencana reorganisasi masyarakat.
Setelah menyelesaikan enam jilid Course de Philosophie Positive, Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda Comte, dan ia sedang ditinggalkan oleh suaminya ketika mereka bertemu. Awalnya Clothilde tidak menanggapi surat cinta yang Comte kirimkan padanya. Namun pada suatu surat, Clothilde menerima Comte menjadi pasangannya, karena Clothilde terdesak atas keprihatinan gangguan mental yang dialami oleh Comte. Namun romantika ini tidak berlangsung lama karena Clothilde mengidap penyakit TBC yang kemudian mengakibatkan Clothilde  meninggal. Kehidupan Comte lalu tergoncang, dan dia bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari”-nya itu.
Helibron menandaskan bahwa kehancuran terbesar terjadi dalam kehidupan Comte pada tahun 1838 dan sejak saat itu ia kehilangan harapan bahwa setiap orang akan memikirkan secara serius karyanya tentang ilmu pengetahuan secra umum, dan khususnya sosiologi. Pada saat yang bersamaan ia mengawali hidup “yang menyehatkan otak”; yaitu, Comte mulai tidak mau membaca karya orang lain, yang akibatnya ia menjadi kehilangan harapan untuk dapat berhubungan dengan perkembangan intelektual terkini. Setelah tahun 1838 ia mulai mengembangkan gagasan anehnya tentang reformasi masyarakat yang dipaparkanya dalam buku Systeme de Politique Positive.  Dalam buku ini jelaskan mengenai pernyataan menyeluruh mengenai strategi pelaksanaan praktis pemikirannya mengenai filsafat positif yang sudah dikemukakannya terlebih dahulu dalam bukunya Course de Philosophie Positive.
Karena dimaksudkan untuk mengenang “bidadari”-nya, kara Comte dalam “politik positif” itu didasarkan pada gagasan bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta murni dan egoistis demi “kebesaran kemanusiaan”. Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu agama baru – agama Humanitas – yang merupakan sumber – sumber utama bagi perasaan – perasaan manusia serta mengubahnya dari cinta diri dan egoisme menjadi altruisme dan cinta tetapi sekaligus tidak akan membenarkan secra intelektual ajaran – ajaran agama tradisional yang bersifat supernaturalistik. Comte mulai menghayalkan dirinya sebagai pendeta tinggi agama baru kemanusiaan; ia percaya pada dunia yang pada akhirnya akan dipimpin oleh sosiolog-pendeta. (Comte banyak dipengaruhi latar belakang Khatoliknya). Menarik untuk disimak, ditengah gagasan berani itu, pada akhirnya  Comte banyak mendapatkan banyak pengikut di Prancis, maupun di sejumlah Negara lain. Auguste Comte wafat pada 5 september 1857.



A.    Pokok Pikiran Filsafat Positivisme Auguste Comte
Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi (Pickering,2000: Turner, 2001) ia membawa pengaruh besar pada beberapa orang teoretisi sosiologi yang lebih kemudian (khususnya Herbert Spencer dan Emile Durkheim). Ia percaya bahwa studi sosiologi haruslah ilmiah, sebagaimana yang telah dirintis teoretisi klasik dan sosiolog-sosiolog kontemporer (Lenzer, 1975).
Comte sangat terusik oleh anarki yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Prancis dan bersikat kritis terhadap pemikir yang menumbuhkembangkan pencerahan dan revolusi ia mengembangkan pandangan ilmiahnya, “positivisme” atau “filsafat positif”, untuk menyerang apa yang dipandangnya filsafat negative dan destruktif dari pencerahan. Comte sejalan, dan dipengaruhi oleh pemikir khatolik kontrarevolusi Prancis (khususnya de Bonald dan de Maistre).Namun, karyanya dapat dibedakan dari pandangan kedua orang tersebut paling tidak karena dua alasan.Pertama, menurut pendapatnya, tidak mungkin kembali lagi ke zaman pertengahan; kecanggihan ilmu pengetahuan dan industry menjadikannya mustahil.Kedua, ia mengembangkan sistem teoritis yang jauh lebih canggih daripada pendahulunya, sebuah sistem teoritis yang cukup untuk membangun sosiologi awal.
Meskipun Comte memberikan istilah positivisme, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalnya. Masyarakat positivis percaya bahwa masyarakat merupkan bagian dari alam dan bahwa metode – metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum – hukum yang sudah tersebar luas di lingkungan intelektual diman Comte hidup. Tetapi sementara kebanyakan kelompok positivis berasal dari kalangan orang – orang yang progresif yang berekad mencampakkan tradisi – tradisi irasional dan memperbaharui rakyat dengan hukum alam sehingga menjadi lebih rasional, Comte percaya bahwa penemuan hukum – hukum alam itu akan membukakan batas – batas yang pasti melekat (inherent) dalam kenyataan sosial, dan melampaui batas – batas itu  usaha pembaruan akan merusakkan dan menghasilkan sebaliknya.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat ilmiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui mana semua ilmu – ilmu lain sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk pemkiran teologis, metafisis yang pada akhirnya samapi terbentuknya hukum – hukum ilmiah yang positif. Bidang Sosiologi (Fisika Sosial) adalah paling akhir melewati tahap – tahap ini, karena pokok permasalahnnya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan biologi.
Mengatasi cara – cara berfikir mutlak yang terdapat dalam tahap – tahap pra-positif, menerima kenisbian pengetahuan kita secara terus menerus terbuka terhadap kenyataan – kenyataan baru merupakan ciri khas yang membedakan pendekatan positivis yang digambarkan Comte

B.     Hukum Perkembangan Cara Berfikir Manusia dan Implikasi Sosial Kemasyarakatan
Menurut Comte ada tahap perkembangan intelektual yang masing – masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap pertama dinamakan tahap teologis atau fiktif, yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala – gejala disekelilingnya secara teologis, yaitu dengan keuatan – kekuatan yang dikendalikan roh dewa – dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Penafsiran ini penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memusuhinya dan untuk melindungi dirinya dari faktor  faktor yang tidak terduga timbulnya.Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia.Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama).Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak.Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Comte juga membaginya ke dalam periode fetisisme.politeisme, dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive meliputu kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Monoteisme, bentuk pikiran manusia, kepercayaan akan banyak dewa diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi.
Tahap kedua merupakan perkembangan dari tahap pertama yaitu tahap metafisik. Pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan – kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Pada tahap ini manusia masih terikat oleh cita – cita tanpa verifikasi karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita – cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum – hukum alam yang seragam.Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
Tahap selanjutnya adalah tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya (tidak mutlak), semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.Akal budi sangatlah penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris.
Comte mengakui bahwa perubahan dari satu tahap ke tahap yang berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba, sehingga memperlihatkan suatu garis pemisah yang jelas dengan yang sebelumnya, serta memperlihatkan suatu awal tahap yang baru.

C.    Statistika dan Dinamika Sosial
Dengan statika sosial dimaksudkan semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem perundangan, struktur organisasi, dan nilai – nilai seperti keyakinan, kaidah dan kewajiban yang semuanya memberi bentuk yang konkret dan mantap kepada kehidupan bersama. Statika sosioal itu disepakati oleh anggota dan karena itu disebut dengan volonte general (kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan, perdamaian, dan kestabila atau keseimbangan. Tanpa unsur – unsur struktural ini kehidupan bersama tidak dapat berjalan. Pertengkaran dan perpecahan mengenai hal – hal yang dasar, sehingga suatu kesesuaian paham tidak tercapai, menghancurkan masyarakat.
Dengan istilah dinamika sosial dimaksudkan semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial. Dinamika sosial adalah daya gerak sejarah tersebut tadi, yang pada setiap tahap evolusi mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang setinggi dengan kondisi dan keadaan zaman. Dalam abad ke-18 dinamika sosial paling menonjol dalam perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan – gagasan agama yang lama dan konsep – konsep positif dan ilmiah yang baru. Comte telah belajar dari sejarah dunia, bahwa tiap – tiap perubahan dibidang politik, hukum, tata pemerintahan, kesenian, agama, ilmu pengetahuan dan filsafat langsung berkaitan dengan hukum evolusi akal budi. Tiap – tiap tahap baru dalam cara manusia berpikir menghasilkan bentuk masyarakat yang baru juga.
Pada tahap religius masyarakat dihayati sebagai kehendak dewa atau Allah. Pemerintahannya berstruktur feodal dan paternalistis. Hormat besar bagi pemimpin dan pembesar menjadi wajib. Ekonominya bercorak “militaristis” dalam arti bahwa orangnya tidak memproduksi sendiri barang kebutuhan mereka, tetapi memetik hasil bumi atau meramu saja. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, yang terlihat dari adanya perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap positivisme sekarang membangun kembali suatu orde baru yang kokoh – kuat, dimana peranan agama dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan universal. Sarjana mengganti ulama, dan industriawan mengganti serdadu ( Storig H.J., dalam Veeger, 1982).
Comte telah menyaksikan krisis sosial yang hebat, disebabkan oleh pembenturan antara masyarakat tradisi dengan masyarakat industri baru. Kendati demikian, ia berkeyakinan teguh bahwa masyarakat akan menjadi tertib kembali kalau suatu kesepakatan tentang nilai – nilai baru akan tercapai.

D.    Agama Humanitas August Comte
Desakan untuk mendirikan agama positif terutama karena mengingat runtuhnya tatanan sosial tradisional yang sebelumnya sudah memuncak dalam Revolusi Perancis, dan Comte khawatir kalau mengarah ke anarki.
Sementara humanitas merupakan objek utama pemujaan dalam agama baru itu, konsep humanitas selalu kabur untuk orang yang mau mengenalnya (khususnya masyarakat biasa). Supaya konsep ini dapat ditangkap, wanita atau kewanitaan akan disembah sebagai perwujudan kehidupan perasaan dan sebagai pernyataan yang paling lenkap dari cinta dan altruisme. Berulangkali Comte mengemukakan bahwa perasaan wanita dan altruisme lebih tinggi  daripada intelek dan egoisme pria menurut nilai sosialnya.
Comte dikesankan oleh kebudayaan abad pertengahan. Bukan tahap evolusi pemikiran manusia yang mengesankan dia masa itu, melainkan pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai – nilai rohani dengan nilai – nilai duniawi. Misalnya lembaga keluarga tidak semata – mata dianggap sebagai lembaga sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sakral juga. Terddorong oleh keyakinan bahwa hati manusia merupakan daya ang terutama, ia melucuti angkatan bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia memberi status sakral kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka dan meluhurkan peranan mereka dalam rumah tangga. Ia menentang perceraian. Bunda Maria, ibu Yesus al Masih, dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia menyatakan hormatnya kepada seluruh ibu.
Dalam kehidupannya sendiri, nampaknya Clothilde de Vaux menggantikan Perawan Maria serta menjadi simbol perwujudan “wanita ideal”. Dalam istilah Freud, reaksi emosional Comte sendiri terhadap hubungan fisik yang tak terpenuhi dengan Clothilde de Vaux merupakans sublimasi terhadap suatu tatanan yang lebih tinggi. Hubungan cinta mereka adalah hubungan cinta murni tanpa hubungan fisik (menyebabkan Comte sangat frustrasi); sesudah kematian istrinya itu, hubungan rohaniah ini diubah Comte menjadi penyembahan terhadap roh wanita yang dia ketemukan sedemikian indah dan sempurna terjelma dalam tubuh Clothilde de Vaux. Sebetulnya Comte menjadi sedemikian terpikat oleh pandangannya mengenai masyarakat positivis dimasa depan hingga dia malah membayangkan suatu kemungkinan pria dan wanita akan  berkembang kesuatu titik dimana hubungan seks tidak diperlukan lagi dan “kelahiran akan muncul begitu saja dari wanita.”
Comte menarik kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip – psrinsip positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui agama gaya baru, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari – hari raya, dan orang – orang “Kudus”-nya. Hanya agama yang akan mampu menyemangati baik akal – budi maupun perasaan dan kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru itu. Yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan Tuhan, melainkan humanitas atau kemanusiaan. Kita harus mencintai humanitas. Dengan humanitas tidak dimaksudkan untuk semua orang, tidak termasuk bagi yang jahat dan tidak becus, melainkan orang – orang terbaik yang pernah dihasilkan sejarah dan masih hidup melalui karya dan pengaruh mereka. Menurut Comte, cinta inilah yang akan memulihkan keseimbangan dan keintegrasian baik dalam diri pribadi individu maupun dalam masyarakat. Cinta ini akan melahirkan pemerintahan sipil, menjinakkan, dan mengendalikan tiap – tiap kekuasaan duniawi.

0 komentar:

Posting Komentar