Pages

Subscribe:

Labels

Top Stories

Labels

Categories

Blogger templates

Blogger templates

Mengenai Saya

Foto saya
just the smile and the rain is gone

Pengikut

Blogger news

Rabu, 21 Desember 2011

WEBBER (VERSTEHEN)

MAX WEBER

A.    Biografi Max Weber

            Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 april 1864, dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relatif penting. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religius, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perbedaan tajam antara kedua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga, dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orang tuanya, sebagai anak weber dihadapkan pada pilihan yang sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada orientasi hidup ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukkan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat sosial ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun, hal tersebut cepat setelah ia tertarik pada car hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan yang penuh persaingan, tempat ayhnya dulu juga terlibat.setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk mengambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap di sana selama hampir delapan tahun. Kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doktor, menjadi pengacara.
B. Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Max Weber
            Dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904-05/1958), ia memberikan perhatian pada agama Protestan, terutama sebagai sistem ide, dan dampaknya terhadap kelahiran sistem gagasan lain, “semangat kapitalisme”, dan pada akhirnya, dampak yang ditimbulkan terhadap sistem ekonomi. Weber memiliki minat serupa terhadap agama-agama dunia lainnya, dengan melihat bagaimana sifat agama-agama tersebut menghambat perkembangan kapitalisme pada masyarakat tempat agama tersebut tumbuh. Berdasarkan karya ini, beberapa ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx.
            Pandangan kedua tentang hubungan Weber dengan Marx, yang menyebutkan bahwa Weber sebetulnya tidak berlawanan dengan Marx karena ia justru melengkapi perspektif teoretisnya. Dalam hal ini Weber dipandang lebih banyak bekerja di dalam tradisi Marxian daripada menentangnya. Karyanya tentang agama, yang ditafsirkan dari sudut pandang ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa bukan hanya faktor materi yang mempengaruhi ide, namun ide juga mempengaruhi struktur materi.
            Kedua pandangan yang disinggung di atas mengakui arti peran penting teori MWeber arxian bagi Weber. Kedua posisi tersebut sama-sama benar; di beberapa titik tertentu, Weber memang menentang Marx, sementara di titik lain, ia memperluas gagasan Marx. Namun, pandangan yang ke tiga dari masalah ini memberikan penjelasan yang lebih baik perihal hubungan Marx dan Weber. Pandangan yang terakhir ini, memandang Marx hanya sebagai salah satu faktor yang memepengaruhi pemikiran Weber.
            Diantara pemikir yang paling menonjol pengaruhnya terhadap Weber adalah filsuf Immanuel Kant (1724-1804). Namun, kita tidak boleh mengesampingkan dampak Friedrich Nietzsche (1844-1900) (Antonio, 2001) khususnya penegasannya tentang pahlawan terhadap karya Weber tentang kebutuhan individu untuk melawan dampak birokrasi dan struktur lain masyarakat modern. Pengaruh Immanuel Kant terhadap Weber dan sosiologi Jerman pada umunya menunjukkan bahwa sosiologi Jerman dan Marxisme tumbuh dari akar-akar filosofis yang berlainan
A.    Warisan idealisme Historisme Jerman
Warisan idealisme historisisme Jerman pada disiplin sosiologi akan menempatkan Max Weber sebagai pencetus utamanya. Sebagai salah satu pemikir utama bidang sosiolgi yang berasal dari Jerman, Weber mewariskan idealisme historisisme melalui pemikirannya sebagai seorang sosiolog historis. Pandangan ini membawa kembali pada awal mula pembahasan Weber akan hubungan sejarah dengan sosiologi. Meskipun ia seorang mahasiswa hukum, karier awalnya didominasi oleh minat pada bidang sejarah yang terwujud pada karya disertasi doktoralnya yaitu studi historis tentang Zaman Pertengahan dan Romawi. Lambat laun ia beralih ke sosiologi sampai pada tahun 1909 Weber mulai menulis karya besarnya, Economy and Society.
Weber berusaha mengklarifikasi bidang barunya itu dengan menjembatani antara sejarah dengan sosiologi sebagai dasar kajian pada bidang sosiologi sendiri. Hal ini seperti tertuang dalam pandangan hematnya bahwa sosiologi bertugas melayani sejarah. Weber menjelaskan perbedaan antara sosiologi dengan sejarah: “Sosiologi berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris. Ini berbeda dengan sejarah, yang berorientasi pada analisis kasual dan penjelasan atas tindakan, struktur, dan kepribadian individu yang memiliki signifikansi kultural”. Meskipun membuat perbedaan, Weber mampu mengkombinasikan keduanya untuk membuat sosiologinya berorientasi pada pengembangan konsep yang jelas sehingga ia dapat melakukan analisis kausal terhadap fenomena sejarah. Weber mendefinisikan prosedur idealnya sebagai “perubahan pasti peristiwa-peristiwa konkret individual yang terjadi dalam realitas sejarah menjadi sebab-sebab konkret yang ada secara historis melalui studi tentang data empiris pasti yang telah diseleksi dari sudut pandang spesifik”. Prosedur ideal inilah yang menjadi sebuah idealisme historis Jerman yang dicetuskan dan dikaji oleh Max Weber sendiri sebagai dasar studi sosiologisnya dan diwariskan pada studi-studi sosiologi dunia.
Pemikiran weber tentang sosiologi dibangun dengan keluar dari pemikiran-pemikiran pada debat intelektual (Methodenstreit) yang pada waktu itu terbagi menjadi dua kubu. Yang pertama adalah kubu positivis yang memandang sejarah tersusun berdasarkan hukum-hukum umum (pandangan nomotetik) dengan kubu subjektivis yang menciutkan sejarah menjadi sekedar tindakan dan peristiwa idiosinkratis (pandangan idiografis). Weber menolak kedua kubu ekstrim tersebut dan berusaha mengembangkan cara tersendiri untuk menangani sosiologi historis. Menurut Weber, sejarah terdiri dari sejumlah peristiwa empiris unik ; tidak mungkin ada generalisasi pada level empiris. Dengan demikian, sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun dapat digunakan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik atas realitas. Dengan konsep-konsep ini, sosiolog dapat mengembangkan generalisasi, namun generalisasi-generalisasi tersebut bukanlah sejarah dan tidak boleh dicampur adukan dengan realitas empiris.
Weber menawarkan perspektifnya sendiri yang merupakan gabungan dari dua orientasi dua kubu tersebut. Weber merasa bahwa sejarah itu (sosiologi historis) membahas individualitas dan generalitas. Penyatuan dilakukan melalui perkembangan dan pemanfaatan konsep umum (tipe-tipe ideal) dalam studi terhadap individu, peristiwa, atau masyarakat tertentu. Konsep-konsep umum ini digunakan untuk “mengidentifikasi dan mendefinisikan individualitas pada setiap perkembangan, karakteristik yang membuat orang melahirkan kesimpulan sengan cara yang berbeda dari orang lain. Setelah dilakukan, kemudian orang dapat menentukan sebab-sebab yang mengarah pada perbedaan-perbedaan ini”. Untuk itu Weber menolak gagasan untuk mencari agen kausal tunggal sepanjang perjalanan sejarah, tetapi menggunakan perangkat konseptualnya untuk menilai beragam faktor dalam kasus historis menurut signifikansi kausalnya.
Weber merupakan generasi pertama ilmuan yang memiliki data yang dapat diandalkan tentang fenomena sajarah dari berbagai belahan dunia dan cenderung menyibukan dirinya dengan data historis ini ketimbang dengan memimpikan generalisasi jejak dasar sejarah. Meskipun membawanya pada sejumlah pandangan penting, hal ini pun menciptakan masalah serius dalam memahami karyanya; seringkali ia terlibat begitu dalam pada detail historis sehingga alasan dasarnya dalam melakukan studi sejarah menjadi tidak terlihat. Selain itu, persebaran studi sejarahnya meliputi begitu banyak epos dan masyarakat sehingga ia tidak dapat berbuat banyak selain melakukan generalisasi kasar. Singkatnya, Weber percaya bahwa sejarah terdiri dari bentangan fenomena spesifik yang tiada habisnya. Menurutnya tugas sosiologi adalah mengembangkan konsep-konsep yang digunakan sejarah dalam analisis kausal tentang fenomena historis spesifik. Untuk itu, Weber berusaha mengkombinasikan yang spesifik dan yang umum dalam upayanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakekat kehidupan sosial yang begitu kompleks.


B.     Sosiologi Interpretatif (Verstehen)
Max Weber menawarkan model analisis sistem simbol dengan pendekatanVerstehen (pemahaman) yang memungkinkan orang untuk bisa menghayati apa yang diyakini oleh pihak lain tanpa prasangka tertentu. Dalam tradis Verstehen, jika obyeknya adalah sistem budaya, maka bisa dipihal antara tradisi agung (great trdition) dan tradisi rendah (litlle tradition).
Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada verstehen (pemahaman subyektif) sebagai metode untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan  sosial. Bagi weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Intrspeksi bisa memberikan seorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang prilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep “mengambil peran” yang terdapat dalam interaksionisme simbol.
Tindakan Subyek harus dimengerti dalam hubungannya dengan arti subyektif yang terkandung didalamnya. Untuk itu, orang perlu mengembangkan suatu metode untuk mengetahui arti subyektif ini secara obyektif dan analitis.
Konsep Rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Pendekatan “ obyektif” hanya berhubungan dengan gejala-gejala yang dapat diamati (benda fisik atau perilaku nyata), sedangkan pendekatan “subyektif “ berusaha untuk memperhatikan juga gejala-gejala yang sukar ditangkap dan tidak dapat diamati seperti perasaan individu, pikiran dan motif-motifnya.
Memahami reaitas sosial yang dihasilkan oleh tindakan itu berarti menjelaskan mengapa manusia menentukan pilihan. Metode yang dikembangkan oleh Weber adalah Verstehen, karena menurutnya sosiologi juga adalah manusia yang mengapresiasi lingkungan sosial dimana mereka berada, memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan dan oleh sebab itu berupaya memahami tindakan mereka, sehingga konsep inilah yang dapat membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu sosial.
Verstehen adalah suatu metode pendekatan yag berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa social dan histori. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi social didukung oleh jaringan makna yang di buwat oleh actor yang terlibat di dalamnya. Yang menjadi inti dari sosiologi bukanlah bentuk-bentuk substansial dari kehidupan masyarakat maupun nilai yang obyektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yangnyata dari tindakan perseorangan yang timbul dari alasan subyektif itu yang di sebut dengan Verstehende sociologie.

C.      Pemikiran Sosiologis Max Weber mengenai kelas, status, kekuasaan dan masalah rasionalitas
            Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
            Berlawanan denga kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber  sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
            Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat.  Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.      Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.      Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
            Dalam  patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
            Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
3.     . Charismatic authority,  yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku,  pemimpin partai, dan sebagainya
            Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan “rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
            Tipe-tipe rasionalitas. Tipe pertama rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
            Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
            Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantive melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.




KARL MARX

A.    Riwayat Hidup

Karl Marx lahir di Trier, Prussia tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya seorang pengacara, memberikan nuansa kehidupan kelas menengah pada keluarganya. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga rabi, namun karena alasan bisnis ayahnya berganti agama menjadi Lutherian ketika Karl Marx masih sangat muda. Pada tahun 1841 Marx memperoleh gelar Doktor Filsafatnya dari Universits Berlin, seolah yang sangat dipengaruhi Hegel dan para hegelianmuda yang begitu suportif, namun kritis terhadap guru mereka. Disertasi Doktoral Marx hanyalah satu risalah filosofis yang hambar, namun hal ini mengantisipasi banyak gagasannya kemudian. Setelah lulus ia menjadi penulis di koran radikal-liberal dan dalam  kurun waktu 10 bulan menjadi editor kepala. Namun, kareana posisipolitisnya, koran ini ditutup 10 bulan kemudian oleh pemerintah. Esai-esai awal yang dipublikasikan pada periode itu mulai merefleksikan sejumlah pandangan-pandangan yang akan mengarahkan Marx sepanjang hidupnya. Dengan bebas, esai-esai tersebut menyebarkan prinsip-prinsip demokrasi, humanisme, dab idealisme muda. Ia menolak sifat abstrak filsafat Hegelin, impian naif komunis-utopis, dan para aktifis yang menyerukan hal-hal yang dipandangnya sebagai aksi politik prematur. Ketika menolak aktifis-aktifis tersebut, Marx meletakkan karya abadinya:
upaya praktis, dilakukan massa, dapat  dijawab dengan meriam begitu upaya-upaya tersebut membahayakan, namun gagasan-gagasan yang telah melampaui intelektualitas dan mengalahkan keyakinan kita, gagasan-gagasan yang karena alasan tersebut telah membelenggu kesadaran kita, adalah rantai yang tidak dapat dilepaskan orang tanpa mematahkan hatinya, itu semua adalah hantu yang hanya dapat diklahkan orang dengan cara tunduk kepadanya. (Marx, 1842/1977:20).

Marx menikah tahun 1843 dan segera terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari atmosfer yang lebih liberal di Paris. Di sana ia terus mengaut gagasan Hegel dan para pendukungnya, namun ia juga mengalami dua gagasan baru- sosialisme Prancis dan ekonomi politik Inggris, inilah cara uniknya mengawinkan Hegelianisme, sosialisme, dengan ekonomi politik yang memabangun orientasi intelektualnya. Yang sama pentingnya adalah pertemuannya dengan orang yang menjadi sahabat sepanjang hayatnya, penopang finansialnya, dan kolabolatornya Friedrich Engels (Carver,1983). Engels menjadi seorang sosialis yang bersikap kritis terhadap kondisi yang dihadapi kelas pekerja. Pada tahun 1844 Engels dan Marx berbincang lama, dalam percakapan itu Engels mengatakan “Persetujuan penuh kita atas arena teoretis telah menjadi gamblang.....dan kerja sama kita berasal dari sini” (Mclellan, 1973: 131). Tahun berikutnya Engels memublikasikan satu karya penting. The Condition of the Working Class in England. Selama masa itu Marx menulis sejumlah karya rumit (banyak diantaranya tidak dipublikasikan sepanjang hayatnya). Termasuk The Holy Family and The German Ideology (keduanya ditulis bersama dengan Engels), namun ia pun menulis The Economic and Philoshopic Manuscripts of 1844, yang memayungi perhatiannya yang semakin meningkat terhadap ranah ekonomi.

Sebenarnya, banyak orang percaya bahwa Engels sering gagal memahami kejelian karyanya Marx (C. Smith,1997). Setelah kematian Marx, Engels menjadi juru bicara terkemuka bagi teori Marxian. Karena beberapa tulisannya meresahkan Pemerintah Prussia, Pemerintah Prancis (atas permintaan Pemerinta Prussia) mengusir Marx pada tahun 1845, dan ia berpindah ke Brussel. Radikalismenya tumbuh, dan ia menjadi anggota aktif gerakan revolusioner internasional.
Pada tahun 1849 Marx pindah ke London, dan karena kegagalan revolusi politiknya pada tahun 1848, ia mulai menarik diri dari aktivitas revolusioner aktif dan beralih ke penelitian yang lebih serius dan terperinci tentang bekerjanya sistem kapitalis. Pada tahun 1952, ia mulai studi terkenalnya tentang kondisi kerja dalam kapitalisme di British Museum.
                                           
Studi-studi ini akhirnya menghasilkan tiga jilid buku Capital, yang jilid pertamanya terbit pada tahun 1867, dua jilid yang lain terbit setelah ia meninggal. Ia hidup miskin selama tahun-tahun itu, dan hampir tidak mampu bertahan hidup dengan sedikitnya pendapatan dari tulisan-tulisannya dan dari bantuan Engels. Pada tahun 1864 Marx terlibat dalam aktivitas politik dengan bergabung dengan International,  gerakan pekerja internasional. Ia segera mengemuka dalam gerakan ini dan menghabiskan selama beberapa tahun di dalamnya. Ia mulai meraih ketenaran baik sebagai pemimpin International maupun sebagai penulis buku Capital. Namun disintegrasi yang dialami International pada tahun 1876, gagalnya sejumlah gerakan revolusioner, dan penyakit yang dideritanya menandai akhir karier Marx. Istrinya meninggal pada tahun 1881, anak perempuannya tahun 1882, dan Marx sendiri pada tanggal 14 Maret 1883.
 Karya Marx yang paling terkenal adalah “Das Kapital” yaitu buku pertama yang ditulis tahun 1848 yang ditulis menjelang akhir hidupnya. Berisi tentang teori-teori kelas yang yang merupakan pokok-pokok dari interpretasi sejarah ekonomi

B.     Dialetika
Dialektika adalah kerangka berpikir dan citra dunia. Di satu sisi, dialektika adalah kerangka berpikir yang menekankan pentingnya proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi suatu kerangka berpikir yang dinamis ketimbang statis tentang dunia.
Fokus Marx pada kontradiksi-kontradiksi yang benar-benar ada, membawa dia kepada suatu metode khusus untuk mempelajari fenomena sosial yang disebut dialetika (Ball, 1991: Friedrichs, 1972: Ollman, 1976: Scheinder,1971).


1.      Fakta dan Nilai
Dalam analisis dialektis, nilai-nilai sosial tidak dapat dipisahkan dari fakta-fakta sosial. Kebanyakan sosiolog menganggap nilai-nilai mereka bisa dan bahkan harus dipisahkan dari studi mereka terhadap fakta-fakta dunia sosial. Namun pemikir dialektis percaya bahwa bukan hanya tidak mungkin untuk membiarkan nilai-nilai tidak terlibat dalam studi terhadap dunia sosial, tetapi juga tidak diinginkan, karena hal itu akan menghasikan suatu sikap ketakberpihakan, sosiologi yang tidak manusia yang hanya menawarkan sedikit hal kepada orang dalam mencari jawaban-jawaban atas problem-problem yang mereka hadapi. Fakta-fakta dan nilai-nilai saling terkait, oleh karena itu fenomena sosial itu sarat nilai (value-laden). Ketika Marx terlibat secara emosional pada apa yang tengah dia pelajari, itu bukan berarti observasi-observasinya tidak akurat. Bahkan bisa dinyatakan bahwa pandangan Marx yang berpihak pada isu-isu ini memberinya pengertian yang tidak paralel terhadap hakikat masyarakat kapitalis.
2.      Hubungan Timbal Balik
Metode analisis dialektik bukanlah hubungan sebab akibat sederhana dan satu arah antar bagian-bagian dunia sosial. Bagi pemikir dialektis, pengaruh-pengaruh sosial tidak pernah secara sederhana mengalir di satu arah sebagaimana yang diadaikan para pemikir sebab akibat. Bagi dialektikawan, satu faktor mungkin memang berpengaruh pada faktor lain, namun faktor lain ini juga akan berpengaruh pada faktor pertama. Misalnya meningkatnya eksploitasi terhadap para pekerja oleh kapitalis barangkali menyebabkan para pekerja semakin tidak puas dan lebih militan, tetapi peningkatan militansi proletariat juga mungkin akan menyebabkan kapitalis beraksi dengan menjadi makin eksploitatif agar resistansi para pekerja ditakhlukan.



3.      Masa Lalu, Masa Sekarang, dan Masa Depan
Para dialektikawan tidak hanya tertarik pada hubungan fenomena-fenomena sosial pada dunia kontemporer, tetapi juga tertarik pada hubungan realitas-realitas kontemporer tersebut dengan fenomena-fenomena sosial masa lalu (Bauman, 1976: 81) dan masa yang akan datang. Hal ini memiliki dua implikasi yang terpisah terhadap sosiologi dialektis. Pertama, ia berarti bahwa para sosiolog dialektis bergelut mempelajari akar-akar historis dunia kontemporer sebagaimana yang dilakukan oleh Marx (1857-58/1964) dalam studinya terhadap sumber-sumber kapitalisme modern. Dan memang para pemikir Dialektis sangat kritis terhadap sosiologi modern karena kegagalannya melakukan banyak penelitian historis. Dalam hal ini ada contoh yang menarik dalam pemikiran Marx yang ditemukan dalam kutipan dari The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte:
Manusia menciptakan sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak menciptakannya sebagaimana yang mereka senangi; mereka tidak menciptakannya dalam keadaan dimana mereka bisa memilih sendiri; tetapi dalam keadaan yang secara langsung bertemu dari masa lalu. Tradisi dari semua generasi yang telah meninggal, menghimpit seperti sebuah mimpi buruk dalam otak kehidupan.
(Marx, 1852/1970: 15)
Kedua, banyak pemikir dialektis menyesuaikan diri dengan tren sosial masa sekarang untuk memahami arah yang mungkin bagi masyarakat di masa depan. Para dialektikawan yakin bahwa bagaimana sesungguhnya dunia masa depan ini hanya bisa dilihat melalui studi yang hati-hati terhadap dunia kontemporer. Inilah pandangan mereka yang menyatakan sumber-sumber masa depan terdapat di masa sekarang.


4.      Tidak Ada yang Tidak Dapat Dielakkan
Pandangan dialektis yang melihat adanya hubungan antara masa sekarang dengan masa yang akan datang bukan berarti masa datang ditentukan oleh masa sekarang.
5.      Aktor dan Struktur
Para pemikir dialektis juga tertarik pada dinamika hubungan aktor dan struktur sosial. Marx tentu saja sudah mengenal saling pengaruh yang terus terjadi antara level-level utama analisis sosial. Inti pemikiran Marx berada pada hubungan antara manusia dan struktur struktur skala luas yang mereka ciptakan (Lefebvre, 1968: 8). Di satu sisi, struktur-struktur skala luas ini membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan diri mereka; di sisi lain, dia mempresentasikan suatu ancaman yang menakutkan terhadap umat manusia. Namun, metode dialektis bahkan lebih kompleks dari ini, karena sebagaimana yang telah kita lihat, para dialektikawan mengakui keadaan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dan hal ini juga berlaku untuk aktor-aktor dan struktur-struktur.
C.    Konsep Marx tentang Manusia (humanisme)

Sejarah kehidupan manusia tidak lebih dari pertentangan kelas atau golongan.
Ø  Sifat Dasar Manusia
            Bagi Marx, konsepsi tentang sifat dasar manusia yang tidak memperhitungkan faktor-faktor sosial dan sejarah adalah salah, akan tetapi melibatkan faktor-faktor itu juga tidak sama dengan tidak menggunakan konsepsi tentang sifat dasar manusia sama sekali. Marx sering menggunakan istilah species being. Yang dia maksud adalah potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang unik yang membedakan kita dengan spesies yang lain.
            Sebagaian Marxis, seperti Louis Althusser (1969: 229), berpendapat bahwa Marx dewasa tidak meyakini adanya sifat dasar manusia apa pun. Tentu saja ada alasan-alasan untuk menganggap sifat dasar manusia tidak penting bagi seseorang yang tertarik mengubah masyarakat. Ide-ide tentang sifat dasar manusia seperti ketamakan, kecenderungan pada kekerasan, perbedaan gender “alamiah” kita sering digunakan untuk menentang perubahan sosial apa pun. Konsepsi-konsepsi sifat dasar manusia itu konservatif. Jika problem-problem kita disebabkan oleh sifat dasar kita, maka kita lebih baik belajar untuk membiasakan diri untuk mencoba mengubah segala sesuatu.
            Meskipun demukian, jelas sekali bahwa Marx memiliki konsep sifat dasar manusia (Geras, 1983). Beberapa konsepsi tentang sifat dasar manusia adalah bagian dari teori sosiologi. Konsep kita tentang sifat dasar manusia mendikte bagaimana masyarakat bisa disokong dan diubah, akan tetapi yang paling penting bagi teori Marx adalah, anjurannya bagaimana masyarakat harus diubah.
Ø  Kerja
Bagi Marx, spesies manusia dan sifat dasarnya terkait erat dengan kerja. Bagian penting pandangan Marx tentang hubungan antara kerja dan sifat dasar manusia diantaranya, pertama, yang membedakan kita dengan binatang adalah bahwa kerja kita mewujudkan suatu hal di dalam realitas yang sebelumnya hanya ada di dalam imajinasi. Produksi kita merefleksikan tujuan kita. Marx menyebut proses di mana kita menciptakan objek-objek eksternal di luar pikiran internal kita dengan objektivikasi. Kedua, kerja ini bersifat material. Ia bekerja dengan alam material untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material kita. Ketiga, Marx percaya bahwa kerja ini tidak hanya mengubah alam, tetapi juga mengubah kita, termasuk kebutuhan, kesadaran, dan sifat dasar kita. Kerja, oleh karena itu, pada saat yang sama merupakan (1) obyektivikasi tujuan kita, (2) pembentukan suatu relasi yang esensial antara kebutuhan manusia dengan obyek-obyek material kebutuhan kita, dan (3) transformasi sifat dasar kita.

Ø  Alienasi
Walaupun Marx percaya bahwa ada hubungan yang inheren antara kerja dan sifat dasar manusia, tetapi dia juga berpendapat kalau hubungan ini telah diselewengkan oleh kapitalisme. Dia menyebut hubungan yang diselewengkan ini dengan alienasi (D.Cooper, 1991; Meisenhelder, 1991).
Walaupun individulah yang mengalami alienasi dalam masyarakat kapitalis, fokus analitis dasar Marx adalah struktur kapitalisme yang jadi biang alienasi ini (Israel, 1971). Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyatakan pengaruh produksi kapitalis terhadap manusia dan terhadap masyarakat. Hal terpenting yang patut dicatat di sini adalah sistem dua kelas di mana kapitalis menggunakan dan memperlakukan para pekerja (dan dengan cara demikian, waktu kerja mereka) dan alat-alat produksi mereka (alat-alat dan bahan mentah) sebagaimana produk-produk akhir dan para pekerja dipaksa menjual waktu kerja mereka kepada kapitalis agar mereka bisa bertahan. Inilah yang dimaksud Marx dengan pertentangan yang disebabkan oleh penguasaan sektor ekonomi
1.      Teralienasi oleh produk sendiri, Buruh tidak mempunyai skill, ex: buruh perusahaan garmen hanya mampu membuat kerah saja tanpa memiliki kemampuan membuat baju.
2.      Teralienasi interaksi, ex: buruh bekerja dari pagi hingga malam, dipabrik tidak boleh bekerja sambil bicara
Kehidupan manusia ditandai oleh pertikaian agama pada kelas:
1.      Pertikaian antara sesama anggota dalam satu kelas
2.      Pertikaian antar kelas atau golongan
3.      Pertikaian antar kaya dan miskin
4.      Pertikaian antar yang dikuasai dan menguasai

D.    Teori Kelas Sosial

Kelas terdiri dari kaum proletar yaitu kaum budak atau pekerja dan kaum borjuis yaitu pemilik modal atau pemilik tanah.
Teori kelas dari Marx berdasarkan pemikiran bahwa: “sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan”. Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang primitif secara relatif tidak berbeda satu sama lain, masyarakat itu tetap mempunyai perbedaan-perbedaan fundamental antara golongan yang bertikai di dalam mengejar kepentingan masing-masing golongannya. Dalam dunia kapitalisme misalnya, inti dari kapitalisme yaitu pabrik lebih merupakan tempat utama terjadinya pertentangan-pertentangan antara golongan yaitu mereka yang mengeksploitir dan mereka yang dieksploitir, antara pembeli dan penjual dan antara buruh dan majikan; daripada merupakan tempat terjadinya kerja sama yang fungsional. Kepentingan golongan serta konfrontasi fisik yang ditimbulkannya adalah merupakan faktor utama dari proses sosial di dalam sejarah.
Analisis Marx selalu mengemukakan bagaimana hubungan antara manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam mendapatkan sumber- sumber daya yang langka. Ia mencatat bahwa perbedaan atas sarana tidak selalu menjadi penyebab pertikaian antar golongan. Tetapi dia membenarkan bahwa tiap golongan masyarakat mempunyai cara khas yang dapat menimbulkan konflik antar golongan karena masyarakat secara sistematis menghasilkan perbedaan pendapat antara orang-orang atau golongan yang berbeda tempat atau posisinya di dalam suatu struktur sosial dan lebih penting lagi dalam hubungannya dengan sarana produksi. Marx memiliki anggapan yang begitu kuat bahwa posisi di dalam struktur sedemikian ini selalu mendorong mereka untuk melakukan tindakan  yang bertujuan untuk memperbaiki nasib mereka.
Meskipun demikian, sesungguhnya kepentingan golongan di dalam sosiologi Marx tidak dianggap sebagai sesuatu yang paling utama. Orang-orang berkembang di bawah lindungan orang-orang lain yang menduduki posisi sosial tertentu dan menuju ke arah keadaan sosial tertentu pula. Demikian yang terjadi di dalam perusahaan industri pada mulanya dimana pertikaian telah memecah kepentingan personal dari sekelompok orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. tetapi demi mempertahankan upah mereka, kepentingan personal yang terpilih itu berkembang menjadi kepentingan bersama untuk menghadapi para majikan mereka, dan kepentingan bersama inilah yang mempersatukan mereka itu. Denga kata lain Marx hendak mengatakan bahwa manusia sebagai orang perorang hanya akan bergabung untuk membentuk suatu barisan (front) apabila harus melakukan konfrontasi terhadap golongan lain. kalua tidak, mereka akan hidup saling bertentangan satu sama lain dan selalu di dalam suasana bermusuhan.
Kemampuan kepentingan bersama (common interest) dari anggota-anggota satu lapisan sosial tertentu diperoleh dari lapisan sosial itu juga dari kedudukan lapisan sosial itu di dalam struktur sosial dan hubungan-hubungan produksi. Hanya orang-orang yang berkedudukan sama yang terlibat di dalam pertikaian akan mengubah pengertian “klase an sich” (kelas pada hakekatnya) menjadi “klasse fur sich” (kelas untuk kepentingan pribadi) dimana orang-orang itu akan terlibat di dalam perjuangan bersama dan oleh karenanya mereka menjadi sadar akan nasib yang menimpa mereka.
Meskipun sejumlah orang menempati posisi yang sama dalam proses produksi dan meskipun secara obyektif mereka mempunyai tujuan yang sama, hanya dengan mempersatukan diri mereka mampu membentuk suatu kesadaran kelas dan yang merupakan suatu badan yang menentukan sejarah, apabila mereka menyadari akan kebersamaan kepentingannya melalui konflik-konflik dengan kelas-kelas oposisi.
Bagi Marx, dasar dari sistem stratifikasi adalah tergantung dari hubungan kelompok-kelompok manusia terhadap sarana produksi. Yang termasuk ke dalam kelas modern yang terpenting hanyalah mereka yang bisa disebut “pemilik tenaga kerja”, pemilik modal, dan tuan-tuan tanah yang sumber keuangannya yang terpenting tergantung dari penerimaan upah, laba dan sewa tanah. Yang disebut kelas dalam hal ini adalah suatu kelompok orang-orang yang mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dalam organisasi produksi. Meskipun demikian, sebagaimana dapat dilihat bahwa dari kelompok yang mempunyai nasib yang sama kelas-kelas yang memiliki kesadaran diri memerlukan sejumlah kondisi tertentu untuk menjamin kelangsungannya, yaitu mereka memerlukan adanya suatu jaringan komunikasi di antara mereka, memusatkan massa rakyat, serta kesadaran akan adanya musuh bersama dan adanya suatu bentuk organisasi yang rapi. Kesadaran kelas hanya akan dan dapat tumbuh bila ada titik temu yang ideal terhadap materi, yaitu kombinasi antara permintaan ekonomi dan politis dengan permintaan moral dan ideologis.
Dengan cara berpikir yang sama, Marx mengemukakan pernyataan bahwa kelas pekerja (kaum buruh) harus mengembangkan kesadaran kelas, apabila kondisi tertentu yang dibutuhkan untuk itu telah ada dan mendorong untuk menyatakan bahwa kaum borjuis tidak mampu mengembangkan kesadaran yang sama bagi kepentingan kolektif mereka karena adanya persaingan yang ketat antara produsen-produsen kapitalis.
E.     Analisis Sosiologis Marx Berdasarkan Faktor Ekonomi (Determinisme Ekonomi)
Dari pandangan ekonomi klasik dapat dilihat gambaran sistem ekonomi pasar sebagai sesuatu keadaan dimana setiap orang bekerja hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan hanya mengejar tambahan keuntungan sendiri. Dia dengan kenyataan sedemikian ini bagaimanapun juga telah turut menunjang tercapainya haromoni keseluruhan masyarakat. Tetapi berbeda dengan kenyataan sedemikian itu, kata Marx ,adalah pendapat Raymond Aron yang mengatakan bahwa: “Tiap orang yang bekerja untuk kepentingannya sendiri, sesungguhnya telah mengambil bagian yang kontradiktif yaitu dalam kepentingannya yang fungsional dan sekaligus penggerogotan terhadap kekuasaan. Juga  berlawanan dengan kepentingan para “utilitarian” yang mengartikan kepentingan diri sendiri sebagai pengatur masyarakat yang harmonis. Marx melihat kepentingan diri sendiri di antara kaum kapitalis sebagai suatu tenaga destruksip yang menggerogoti kepentingan kelas yang pada umumnya sebagai sesuatu yang merusak kapitalisme. Tetapi adalah suatu kenyataan pahit kata Marx bahwa semua kaum kapitalis secara sadar bekerja untuk kepentingan diri mereka masing-masing dan telah menimbulkan krisis ekonomi yang makin hebat dan selanjutnya merusak kepentingan masyarakat umum. Kondisi kerja serta peranan yang diembannya, telah mengikat kaum buruh untuk solider satu sama lain dan juga untuk mengatasi persaingan antar kawan dengan tujuan untuk melakukan perlawanan atau tindakan bersama demi kepentingan bersama kelasnya. Sebaliknya kaum kapitalis yang terdesak oleh persaingan pasar berada dalam posisi yang sulit yang tidak memungkinkan mereka menuntut terlalu banyak dari kepentingan masyarakat umum. Keadaan pasar serta persaingan produksi sebagai ciri khas kapitalisme, cenderung untk memisahkan para produsen satu sama lain. Marx mengakui bahwa kaum kapitalis memungkinkan besar akan lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, tetapi kepentingan ini lebih bersifat politis dari pada kepentingan ekonomis. Kaum kapitalis yang terpecah belah oleh persaingan ekonomis antar golongannya sendiri akan mengembangkan suatu ideologi yang sesuai dengan sistem politik yang dominan demi kepentingan mereka bersama, sehingga kekuatan serta ideologi politik mempunyai fungsi yang sama bagi kaum kapitalis sebagaimana kesadaran kelas berarti bagi kaum buruh.
Bagi Marx, faktor ekonomi adalah faktor penentu yang paling akhir, di mana kaum borjuis selalu menjadi korban dari persaingan yang sudah menjadi sifat dari semua kehidupan eksistensi ekonomi. Kenyataan sedemikian ini sesungguhnya dapat mengembangkan suatu bentuk kesadaran, tetapi kesadaran itu hanyalah merupakan kesadaran palsu, artinya kesadaran yang tak lebih dari keterkaitannya pada salah satu cara berproduksi yang secara ekonomis saling bersaingan. Oleh karena itulah, baik kaum borjuis sebagai suatu kelas di dalam masyarakat, negara borjuis ataupun ideologi borjuis, semuanya tidak dapat dipakai sebagai penyalur untuk menghilangkan kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri yang dipunyai kaum borjuis. Pemerintah borjuis pasti akan runtuh apabila semangat ekonomi telah matang dan apabila kaum buruh yang sadar akan kepentingan bersama mereka dan diperkuat dengan sistem yang tepat untuk membangun ide-ide mereka, bergabung dengan solidaritas yang kuat untuk bersama-sama menghadapi lawan mereka yang terpecah belah. Sekali kaum buruh sadar bahwa mereka dikucilkan dari proses produksi serta, tidak diikut sertakan dalam sistem ekonomi, maka era kapitalisme telah memasuki masa keruntuhannya, dan itu berarti telah memasuki masa akhir kejayaannya. 

EVOLUSI HERBERT SPENCER

HERBERT SPENCER

1.      Sketsa Biografis Herbert Spencer


Herbert Spencer lahir di Derby, Inggris, pada tanggal 27 April 1820. Ia tidak memperoleh pendidikan seni dan humaniora, melainkan di sekolah teknik dan utilitarian. Pada tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur teknik sipil untuk perusahaan kereta api, dan pekerjaan ini dijalaninya sampai tahun 1846. Selama masa itu, Spencer terus mempelajari bidang studinya sendiri dan mulai menerbitkan karya-karya tentang ilmu pengetahuan dan politik.
Pada tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai editor majalah The Economist, dan gagasan-gagasan intelektualnya mulai mengental. Pada tahun 1850, ia menyelesaikan karya utamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini, Spencer mulai mengalami insomnia, dan setelah beberapa tahun berselang masalah mental dan fisiknya memuncak. Ia menderita serangkaian kerusakan saraf sepanjang hidupnya.
Pada tahun 1853 Spencer menerima warisan yang memungkinkannya berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang ilmuwan bermartabat. Ia tidak pernah memperoleh ijazah universitas ataupun menduduki posisi akademis. Ketika hidup semakin terisolasi, serta sakit mental dan fisiknya makin parah, produktivitas intelektualnya meningkat. Akhirnya, Spencer tidak hanya mulai meraih ketenaran di Inggris, namun juga meraih reputasi pada tingkat internasional. Sebagaimana dikatakan Richard Hofstadter: “Selama tiga dekade setelah Perang Saudara, orang tidak mungkin aktif di arena intelektual tanpa menguasai karya Spencer” (1959: 33). Di antara pendukungnya adalah industrialis penting Andrew Carnegie, yang menulis surat berikut kepada Spencer ketika ia menderita sakit yang merenggut nyawanya pada tahun 1903:

    Untuk Guru Tercinta . . . engkau datang padaku setiap hari di dalam pikiranku, dan pertanyaan abadi “mengapa” terus mengganggu –Mengapa ia terbaring? Mengapa ia harus pergi? . . . Dunia bergerak perlahan di atas bawah sadar pikiran agungnya. . . . Namun suatu hari nanti, ia akan bangkit dengan ajaran dan menyatakan bahwa tempat Spencer ada di antara pikiran terbesar itu.
(Carnegie, dikutip dalam Peel, 1971: 2)
Namun nasib Spencer tidaklah demikian.
Salah satu ciri paling menarik Spencer, ciri yang hakikatnya menjadi sebab keruntuhan intelektualnya adalah keengganannya untuk membaca karya orang lain. Dalam hal ini, ia mirip dengan raksasa sosiologi lain, Auguste Comte, yang mempraktikan “kemurnian intelektual”. Terkait dengan kebutuhan untuk membaca karya orang lain, Spencer berkata: “Sepanjang hayat, aku adalah seorang pemikir, bukan pembaca, sehingga dapat berbicara dengan Hobbes bahwa ‘jika saja aku membaca sebanyak orang lain, maka aku tidak akan tahu sebanyak ini’” (Wiltshire, 1978: 67). Seorang kawan menanyakan pendapat Spencer tentang suatu buku, dan “jawabannya adalah bahwa ketika membaca buku ia melihat bahwa asumsi fundamentalnya salah besar, dan dengan demikian tidak ingin membacanya” (Wiltshire, 1978: 67). Seorang pengarang menulis tentang “cara tidak komprehensif Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya . . . tampaknya ia tidak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978: 67).
Jika tidak membaca karya orang lain, lalu darimana gagasan dan pandangan Spencer berasal? Menurut Spencer, keduanya muncul secara tidak sengaja dan secara intuitif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasan-gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara tak terduga, tanpa niat secara sadar atau upaya yang dapat dipahami” (Wiltshire, 1978: 66). Intuisi semacam itu diyakini Spencer jauh lebih efektif daripada studi dan pemikiran secara saksama: “Solusi yang dicapai dengan cara tersebut lebih benar daripada yang dicapai dengan upaya terukur (yang) menyebabkan pergeseran pemikiran” (Wiltshire, 1978: 66).
Spencer menderita karena keengganannya membaca secara serius karya-karya orang lain. Sebaliknya, jika ia membaca karya lain, seringkali hanya dilakukan untuk mencari penegasan atas gagasannya sendiri yang tercipta secara independen. Ia mengabaikan gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan gagasannya. Jadi, rekan sejawatnya, Charles Darwin, bercerita tentang Spencer: “Jika saja ia mendidik dirinya untuk meneliti lebih banyak, bahkan dengan . . . merugikan daya pikirnya sendiri, ia akan menjadi orang yang luar biasa” (Wiltshire, 1978: 70). Pengabaian Spencer terhadap aturan keilmuan membawanya ke serangkaian gagasan yang sarat kebencian dan pernyataan yang tidak berdasar tentang evolusi dunia. Oleh karena itu, sosiolog abad ke-20 mulai mencampakkan karya Spencer dan menggantikannya dengan ilmuwan yang lebih saksama dan penelitian empiris.
            Spencer meninggal pada tanggal 8 Desember 1903.
2.      Teori Evolusi Herbert Spencer (1820-1903)
            Spencer sering disamakan dengan Comte dalam arti pengaruh spencer dan Comte terhadap perkembangan teori sosiologi, namun ada beberapa perbedaan penting misalnya agak sulit menggolongkan speencer sebagai pemikir konservativ. Spencer lebih tepat dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur liberalisme disepanjang hidup. Kekhasan Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial, ia menganut pandangan evolusi yang berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan yang makin baik dan karena itulah kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri, lepas dari campur tangan yang hanya akan memperburuk keadaan. Spencer menerima pandangan bahwa institusi sosial , sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, maupun beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Spencer juga menerima pandangan darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittes” juga terjadi dalam kehidupan sosial.
Teori Evolusi adalah kemungkinan untuk mengidentifikasi dua perspektif evolusioner utama dalam karya Spencer. Pertama, teorinya terutama berkaitan dengan peningkatan ukuran masyarakat. Masyarakat tumbuh melalui perkembangan individu dan penyatuan kelompok-kelompok. Peningkatan ukuran masyarakat menyebabkan struktur makin luas dan makin terdiferensiasi serta meninngkatan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Disamping pertumbuhan ukurannya, masyarakat berubah melalui penggabungan, yakni makin lama makin menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dengan demikian Spencer berbicara tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan penggabungan tiga kali lipat.
Spencer juga menawarkan teori evolusi dari masyarakat militan ke masyarakat industri. Yang pada mulanya, masyarakat militan dijelaskan sebagai masyarakat yang tersrtuktur guna melakukan perang. Walaupun Spencer melihat Evolusi umum yang mengarah kepada pembentukan masyarakat industri, akan tetapi ia juga mengakui adanya kemunduran periodik kepada masyarakat yang lebih agresif dan militan. Dalam tulisannya mengenai etika politik, Spencer mengemukakan gagasan evolusi sosial yang lain. Disuatu sisi Spencer memandang  masyarakat berkembang menuju ke keadaan moral paling ideal atau sempurna. Disisi lain Spencer mengemukakan bahwa masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkunganlah yang akan bertahan hidup, sedangkan masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Hasil proses ini adalah peningkatan kemampuan menyesuaikan diri masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Spencer, masyarakat adalah organisme yang berdiri sendiri dan berevolusi sendiri lepas dari kemauan dan tanggung jawab anggotanya, dan dibawah kuasa suatu hukum. Latar belakang dari adanya gerak evolusi ini ialah lemahnya semua benda yang serba sama. Misalnya, dalam keadaan sendirian atau sebagai perorangan saja manusia tidak mungkin bertahan. Maka ia merasa diri didorong dari dalam untuk bergabung dengan orang lain, supaya dengan berbuat demikian ia akan dapat melengkapi kekurangannya.
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a)      Tahap penggandaan atau pertambahan
Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah


b)      Tahap kompleksifikasi
Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c)      Tahap Pembagian atau Diferensiasi
Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas social.
d)      Tahap pengintegrasian
Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan. Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota badan fisik Indonesia.


Lahirnya Darwinisme Sosial
 Pada tahun 1859 Charles Darwin (1809 – 1882) menerbitkan buku yang berjudul On the Origin of Species, atau the Preservation of Favoured Races in the Struggle for  Life yang membahas proses evolusi organism-organisme fisik. Konsep-konsep yang amat berpengaruh atas Darwinisme Sosial.
Pandangan Herbert Spencer dalam evolusi sosial terkenal dengan sebutan Darwinisme Sosial atau Social Darwinism. Herbert Spencer melihat ada kesamaan dalam teori evolusi darwin maka kadang manusia disebutnya sebagai organisme. Darwinisme Sosial menggambarkan bahwa perubahan dalam masyarakat berlangsung secara evolusioner (lama) yang dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat diubah oleh perilaku manusia
Darwinisme Sosial dapat digolongkan ke dalam empat kelas, yaitu teori naluri, teori ras, teori determinisme, dan teori evolusi.
1.      Teori naluri
Menurut teori ini, kesatuan masyarakat dan koherensinya disebabkan oleh suatu kecenderungan biologis didalam diri manusia, yaitu suatu naluri social yang disebut herd instinct atau gregarious instinct (naluri kelompok) yang membuat manusai mengakui dan menyukai teman-teman sesama. Struggle for life senantiasa menonjol. Ia merasa diri mereka terancam oleh orang lain yang hendak memakai dia demi bisa bertahan hidup. Keadaan ini telah menyebabkan bahwa oleh alam sendiri membentuk badan fisik dan badan sosial.
2.       Teori Ras
Ludwig Gumplowicz (1838-1909), kelahiran Polandia dan merupakan seorang Yahudi yang dibesarkan dalam kancah dan suasana konflik antara golongan. Teorinya adalah teori perang, ia yakin bahwa telah menemukan didalam Darwinisme yang menyikap seluruh sejarah. Darwin telah membuktikan adanya evolusi biologis yang melalui tahap-tahap seleksi dan adaptasi. Teori ini diterapkan Gumplowicz pada sejarah yang sejarah adalah proses seleksi yang terus menerus, dimana golongan yang palig sehat dan kuat pada akhirnya selalu menang.
Negara-negara modern didirikan atas dasar bahasa dan agama. Jadi yang disebut bangsa merupakan kesatuan budaya, hal ini tidak terlalu konsisten dengan teorinya yang menerangkan kehidupan merupakan hasil hokum alam yaitu hasil konfrontasi. Jadi kita dapat menarik kesimpulan pada akhir hidup Gumplowicz pada akhirnya sedikit memperbaiki pandangan masyarakat yang Darwinistis dan telah mulai merintis suatu pandangan yang bercirikan budaya.
3.      Teori Determinisme
Diantara banyak teori monokausal yang bermaksud untuk mengembalikan seluruh kehidupan social kepada suatu faktor penyebab, teori determinisme Frederic Le Play (1806-1882) pantas kita perhatikan. Le Play kelahiran perancis dan seoarang insinyur pertambangan, sejak masa mudanya menaruh minat besar terhadap masalah adat dan nilai-nilai budaya terdisional. Sama seperti Comte, ia juga menginginkan memulihkan keadaan ketertiban dalam negerinya. Namun ia menghadapi masalah bagaimana cara mengembalikan orang-orang merasa aman., sama seperti Comte ia berpendapat jawaban atas masalah itu adalah menyakut keluarga. Struktur keluarga dan pola relasi-relasi kekeluargaan lagsung menentukan apakah masyarakat terdiri bukan dari individu-individu melainkan dari keluarga-keluarga.
Ia membedakan tiga tipe keluarga yang bersifat dasar. Pertama tipe famili patriarkal yang kokoh dan fungsional bagi masyarakat-masyarkat pengembala. Tipe Kedua ialah famili tidak stabil yang mirip dengan keluarga yang sekarang disebut keluarga inti. Tipe ini agak goyah karena kurang berdaya dalam menghadap kesulitan ekonomi. Umumnya tipe ini dijumpai dikalangan kaum buruh industry tetapi juga dikalangan kelas tinggi sebagai akibat hokum waris. Tipe ketiga yang disebut family pangkal ( stem family atau famille souche) merupakan semacam keluraga patriarchal dimana hanya ada satu orang ahli waris yang tinggal menetap di rumahyang lain menerima mas kawin supaya dapat menetap ditempat lain. Namun demikian bagi mereka juga rumah orang tua merupakan pusat seremonial atau rumah adat, dimana mereka berkumpul pada kesempatan tertentu.
4. Teori-teori evolusi
    Terlebih dahulu kita harus membedakan konsep-konsep evolusi , pembangunan (development), dan kemajuan (progress) . Kalau kata memakai konsep evolusi , kita menoleh ke belakang, yaitu ke suatu keadaan dahulu, lalu menelusuri tahap-tahap pendahuluan yang telah dilalui sebelum sampai kepada keadaan sekarang.
      Di bawah ini kita akan meninjau tiga teori evolusi dari abad lampau, yaitu evolusionisme, involusionisme, dan teori sinkretistis.

a.      Evolusionisme
     Dalam arti kata yang sempit evolusionisme berarti proses peningkatan ke arah tercapainya keadaan yang lebih sempurna. Istilahnya mengungkapkan nada harapan dan optimisme. Sebagai contoh kami menyebut nama Leonard T. Hobhouse (1864-1929). Ia telah mengarang antara lain Mind and Evolution. Morals and Evolution (1906) dan Social Development (1924). Dari segi Sosiologi buku terakhir ini penting. Ia menolak teori evolusi ekstrem yang langsung menerapkan konsep-konsep Darwin. Ia berpendapat bahwa teori evolusi yang ekstrem tidak mungkin menghasilkan pengertian baik tentang masyarakat. Sebaliknya pengertian dikaburkan! Itu sebabnya Hobhouse mencoba untuk menyususn sejumlah ukuran atau indicator obyektif bagi evolsi suatu masyarakat.

b.      Involusionisme
     Kata ”involusi” berarti kemunduran. Jadi Involusionisme adalah ajaran, bahwa manusia mengalami kemunduran. Caranya ia memecahkan masalah kehidupan dan kebudayaannya tidak senantiasa menunjukan kemajuan yang teru-menerus.
Sosiolog Prancis, yang bernama Vacher de Lapouge, dalam bukunya Les Selections Sociales mengatakan, bahwa proses pembudayaan semakin menjauhkan dan mengasingkan manusia dari alam. Terpengaruh oleh Rousseau dan pengikutnya dari zaman Romantik dan program mereka berupa “kembalilah kepada alam!” ia mengajar bahwa alam berarti “evolusi’ , sedangkan kebudayaan berarti “involusi”. Pada pokoknya tiap-tiap kebudayaan bersifat antisosial. Kebudayaan tidak mengejewantahkan sosialitas manusia dan tidak merupakan tanda kebebasannya dan kehormatannya. Sebaliknya, kebudayaan menghambat dan merusak tiap-tiap evolusi dan perkembangan yang sejati.

c.       Teori-teori sinkretistis
Nicholas Danilevski (1822-1885), seorang Rusia, pada tahun 1869 menerbitkan buku yang berjudul Russia dan Europa. Ia menyebut tiga peradaban besar dalam sejarah dunia, yang masing-masing pernah mempunyai riwayat hidup yang kuranglebih sama dengan hidupnya organisme, yaitu masa muda, masa dewasa, dan masa runtuh. Tiap-tiap perbedaan mengembangkan ciri-cirinya yang unik dan istimewa di waktu mereka dewasa. Misalnya, masyarakat Yunani menjadi unik di bidang kesenian dan filsafat, masyarakat Romawi di bidang hukum dan organisasi politik.

Dengan menggunakan teori evolusi Darwin, Herbert Spencer mengembangakan teori evolusi sosial, dimana di dalamnya semua masyarakat secara alami mengalami perubahan menuju bentuk superior (Spencer, 1891). Dari sudut pandang ini, perubahan sosial adalah unilinear , di mana maksudnya adalah semua masyarakat pasti akan melalui suatu tahap yang dapat diperkirakan, yaitu dari primitif menjadi beradab, sederhana menjadi kompleks, atau dari “ inferior ” menjadi “ superior ”.
  • Disini Spencer menggambarkan teori ini lewat lingkungan, dimana ia tinggal, yaitu di Inggris. Jadi, pada dasarnya manusia, masyarakat, dan kebudayaan mengalami perkembangan yang lambat mengikuti garis lurus ( linear) yang digambarkan lewat bagan berikut.
  • Masyarakat dan kebudayaan berkembang mengikuti garis lurus.
  • Masyarakat berkembang dari tahap sederhana ke tahap kompleks
            Jadi Spencer mengemukakan seperangkat gagasan yang kaya dan ruwet. Mula-mula gagasannya menikmati sukses besar, tetapi kemudian ditolak selama beberapa tahun, dan baru berkembang belakangan ini telah hidup kembali dengan munculnya teori sosiologi neo-evolusi.
Reaksi menentang Spencer di Inggris, meskipun penekanannya pada individu, Spencer sangat terkenal karena teori evolisi sosialnya yang bersekala luas. Teori ini sebenarnya bertolak belakang dengan teori sosiologi yang mendahuluinya di Inggris. Namun reaksi menentang Spencer lebih berdasarkan bahwa gagasan suvival of the fittes berlawanan dengan ameliorisme. Jadi Spencer merugikan sebagian sosiolog Inggris awal. Spencer mengajukan filsafat survival of the fittes dan menentang campur tangan pemerintah dan reformasi sosial.
Menurut Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor-faktor yang berbeda-beda di dalam proses evolusioner tersebut. Dan hukum itu adalah pernyataan bahwa hilangnya sesuatu gerakan biasanya diikuti oleh tujuan gerakan itu sendiri dan akan munculnya suatu disintegrasi dari keadaan tersebut, adanya evolusi selalu diikuti oleh disolusi. Evolusi  yang sederhana  hanaylah merupakan suatu gerak yang hilang dan merupakan suatu redistribusi dari keadaan. Evolusi itu sendiri terjadi dimana -mana dalam bentuk inorganik seperti astronomi dan geologi : kehidupan organik seperti biologi dan psikologi serta kehidupan superorganik seperti sosiologi. Spencer menajukan 4 pokok penting tentang sistem evolusi umum yaitu :
  1. ketidakstabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan akan kehilangan kehomogenitasanya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar.
  2. Berkembangnya faktor yang berbeda-beda dalam ratio geometris. Berkembangnya bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan saja, yaitu suatu keadaan yang seimbang yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang lainnya.
  3. Kecenderungan terhadap adanya bagian-bagian yang berbeda-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan.
  4. Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatau keseimbngan akhir.
Spencer memandang sosiologi sebagai suatu studi evolusi didalam bentuknya yang paling kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi superorganisyang termasuk semua proses dan produk tindakan yang dilakukan oleh individu-indvidu . Spencer akhirnya menyimpulkan bahwa masyarakat itu tlah berkembng menjadi lebih luas, berhubungan-hubungan, banyak bentuknya. Dengan berkembangnya masyarakat dalam artian umum, maka masyarakat menunjukan integrasi baik dengan massa yang bertambah secara sederhana maupun dengan cara koalisi dan rekoalisi massa. contoh secara luas yaitu Perubahan dari homogenitas menuju ke heterogenitas : mulai dari suku yang paling sederhana sampai pada bangsa yang beradab yang penuh dengan fungsi dan struktur. Dengan majunya integrasi dan heterogenitas maka meningkatlah perhubungan masyarakat tersebut. Kelompok masyarakat yang hidup mengembara mulai punah, terbagi-bagi menjadi kesatuan kecil yang tidak mempunyai kelompok, suku dengan bagian-bagiannya membuat persekutuan yang lebih kuat dengan cara mengabdikan dirinya pada seseorang pimpinan yang dominan, kelompok-kelompok suku bergabung menjadi satu dalam suatu jalinan politik dibawah seorang pimpinan dan sub pimpinan dan selanjutnya sampai pada suatu bangsa yang beradab mengadakan konsolidasi bersama-sama.
            Secara garis besar pandangan dan tujuan sosiologi Spencer ditandai oleh adanya kesatuan dan pertautan sebagai seorang filosof yang benar-benar ingin membuat suatu ilmu masyarakat. Spencer menekankan pandangannya pada sifat superorganis masyarakat, namun pandangan individualistis yang berat sebelah itu menolak atau berlawanan terhadap adanya unit masa sebagai individu yang ada dalam masyarakat. Spenccer melihat dengan jelas adanya ketergatungan sosiolgi terhadap psikologi dan juga sosiologi terhadap sejarah. Spencer adalah orang yang pertama kali menujukan akan pentingnya psikologi komparatif  ini. Tidak seperti para sosiolog sebelumnya, Spencer tidak menggunakan istilaah masyarakat sebagai suatu yang tidak mempunyai bentuk, namun Spencer membicarakan mengenai masyarakat -masyarakat. Spencer membuat kerangka klasifikasi mengenai masyarakat-masyarakat an suatu morfologi sosial yang benar-benar amat berguna bagi sosiologi ilmiah.  Evolusi sosial dan kemajuan sosial akan menjadi lebih cerah lagi setelah melewati jamannya. Hal ini memerlukan modifikasi dan kualifikasi, namun kesemuanya itu merupakan titik tolak untuk lebih dapat memahami studi evolusi sosial dan kemajuan sosial.
Tidak ragu lagi bahwa satu-satunya sumbangan yang paling penting Spencer adalah pengenalannya mengenai evolusi kehidupan sosial. Konsep mengenai kesinambungan perkembangan  dalam kehidupan sosial melalui integrasi dan deferensiasi yang akan memacu klasifikasi masyarakat dan organisasi sosial. Semua proses konflik menjadi penting di dalam evolusi sosial, proses tersebut terjadi melalui kegiatan individu serta kelompok, karena manusia mempunyai purposive adaptation yang dianggapbpaling cocok untuk dapat hidup terus di dalam lingkungannya.
            Model Spencer
            Evolusi sosial dengan kata lain perubahan sosial yang berlangsung secara perlahan-lahan dan kumulatif(evolusi bukanya revolusi ), dan perubahan sosial ditentukan dari dalam (endogen bukan eksogen). Proses endogen ini sering digambarkan dalam arti diferensiasi struktural, atau dengan kata lain suatu perubahan dari sederhana, tidak terspesialisasi dan informal ke kompleks, terspesialisasi dan formal, atau menurut ungkapan Spencer sendiri, perubahan dari homogenitas yang tidak koheren ke heterogenitas koheren. Hasil dari model Spencer adalah model modernisasi, dimana proses peruabhan dipandang secara esensial sebagai suatu perkembngan dari dalam, dan luar dunia luar hanya berperan sebagai pemberi rangsangan untuk adaptasi. Masyarakat tradisional dan masyarakat modern ditampilkan sebagai tipe-tipe antitesis berikut:
1.      Hierarki sosial tradisional adalah berdasarkan pada kelahiran( ascription) dan mobilitas sosialnya rendah. Sebaliknya, hierarki modern adalah berdasarkan presenatsi dan mobilitas sosialnya tinggi. Masyarakat “estates” telah digantikan oleh masyarakat yang terdiri atas kelas-kelas, yang lebih besar persamaan kesempatannya. Selain itu, dalam masyarakat tradisional, unit dasarnya adalah kelompok kecil dimana setiap orang saling kenal, yang oleh ferdinand tonnies disebut komunitas ( gemeinschaft). Setelah adanya konsep modernsasi, inti dasarnya adalah masyarakat luas yang impersonal (gesellschaft).
2.      Modus-modus antitesis organisasin sosial ini berkaitan dengan sikap-sikap antitesis, sikap untuk berubah misalnya, didalam masyarakat tradis ional, yang perubahannya lambat, orang-orang cenderung tidak suka perubahan atau tidak tahu telah terjadi perubahan. Pihak lain, para anggota masyarakat modern, dimana perubahan berlangsung cepat dan konstan, sangat menyadari, mengharapkan, dan menyetujui perubahan. Sejak abad ke-18 (dikalangan elite Eropa Barat ), orang-orang telah menganggap masa depan bukan sebagai reproduksi masa kini saja melainkan sebagai tempat bagi pengembangan proyek-proyek dan kecenderungan-kecenderungan (trends).
3.      Tentang pertentangan-pertentangan mendasar tersebut, masih bisa ditambahkan beberapa lagi. Budaya masyarakat tradisional sering dikatakan religius, magis dan bahkan tidak rasional, sementara budaya masyarakat modern dianggap sekuler, rasional dan ilmiah.
            Kesejajaran model perubahan sosiokultural dengan model pertumbuhan dan mmodel pembangunan politik mungkin cukup jelas. Misalnya,para ahli teori pertumbuhan ekonomi telah menekankan konsep tinggal landas dari masarakat praindustri yang dipandang statis ke masyarakat industri yang selalu mengalami pertumbuhan. Kepentingan bersamapun terhimpun, seperti sediakala, menjadi kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan struktur kelembagaan. Para ahli teori sosial semakin merasa tidak nyaman dengan asumsi-asumsi yang mendasari model tersebut, terutama mengenai triumfalismenya (sikap berpuas diri karena merasa hebat) dan asumsinya tentang teleologi (pandangan bahwa feomena terjadi karena adanya mekanisme sebab akibat dan tujuan akhir). Bahkan dalam bidang sejarah ekonomi, konsep kemajuan ke arah masyarakat yang lebih makmur pun telah mendapat tantangan, dan sebagai alternatifnya diusulkan model ekologis pada hakikatnya adalah suatu reaksi terhadap habisnya sumber daya tertentu sehingga muncul kebutuhan untuk menemukan substitusinya. Gagasan merupakan keharusan, setidak-tidaknya berpeluang untuk saling susul satu sama lain, bukanlah sesuatu yang mesti ditolak oleh para sejarahwan. Gagasan tentang evolusi yang digelembungkan oleh Darwin juga tidak untuk dibuang sedikitpun. W.G.Runciman telah mengatakan bahwa proses evolusi masyarakat adalah analog dengan seleksi alam, meski sama sekali tidak sama dengan seleksi alam tersebut, proses menekankan pada apa yang ia namakan seleksi kompetitif atas kebiasaan-kebiasaan. Ilustrasi menarik lainnya tentang kelbihan-kelebihan model Spencer adalah kajian Joseph Lee tentang masyarakat Irlandia sejak Bencana Kelaparan Besar tahun 1840an.  Studinya itu disusun diseputar konsep organisasi. Untuk ilustrasi lain tentang kelebihan-kelebihan model tersebut  dapat dilihat pada kasus Jerman : para sejarawan yang berbeda-beda pendekatannya terhadap masa lampau seperti, Thomas Nipperdey dan Hans Ulrich Wehler, telah membahas perubahab-perubahan yang terjadi pada masyarakat Jerman sejak akhir adan ke-18 dari konteks modernisasi. Tentang Wehler, sumbangan kepada teori adalah konsep modernisasi defenif yang katanya merupakan reformasi yang terjadi di Prusia dan negara-negara bagian lain di Jerman antara tahun1789 dan tahun 1815. Menurut Wehler reformasi kaum petani, pegawai pemerintah dan militer adalah respons terhdap apa yang disangka oleh kelas penguasa sebagai ancaman yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Napoleon. Gerakan Reformasi yang bermunculan pada abad ke-19, misalnya Angkatan Muda Turki di Kerajaan Ottoman atau Restorasi Meiji di Jepang, dapat dilihat sebagai tanggapan terhadap ancaman dari kebangkitan bangsa Barat. Kelemahan-kelemahan teori, karena dibuat dinegara-negara yang sedang dalam proses industrialisasi di akhir abad ke-19, pada tahun 1950-an model Spencer itu dikembangkan lebih lanjut untuk menjelaskan perubahan di Negara Ketiga(negara-negara terbelakang).
            Ada 3 macam kekurangyakinan yang dikemukakan mengenai arah perubahan sosial, penjelasan-penjelasannya dan mekanismenya :
1.      Dengan memperluas waawasan hingga mencapai satu-dua abad yang lampau maka akan jelas bahwa perubahan bukanlah satu garis lurus (unilinier), dan sejarah bukanlah jalan satu arah. Dengan kata lain, masyarakat tidak selalu bergerak ke arah peningkatan sentralisasi, komplektisitas, spesialisasi dan sebagainya. Istilah  “modernisasi” sendiri mengesankan suatu proses yang linear. Meskipun begitu, para ahli sejarah intelektual tahu benar bahwa kata modern yang cukup ironis memang, telah digunakan sejak Aabad pertengahan di lain abad lain pula maknanya. Kesulitan dengan modernitas adalah modernitas itu terus berubah. Akibatnya, para sejarawan terpaksa membuat istilah awal modern, yang kata-katanya saling bertentangan, untuk menyebut periode antara akhir Abad Pertengahan dan awal revolusi industri. Karena alasan yang sama, sejumlah analis masyarakat kontemporer lalu telah pula menciptakan istilah pasca industri, akhir kapitalis, dan bahkan  pasca modern untuk melukiskan masyarakat.
2.      Para sejarawan meragukan penjelasan tentan perubahan sosial yang dibangun dalam model Spencer , asumsi bahwa perubahan pada dasarnya bersifat internal bagi sisitem sosial, yang berupa pengembangan potensi, bertumbuhnya cabang-cabang. Hal ini baru bisa terjadi bila suatu masyarakat diidolasikan dari masyarakat-masyarakat lain d dunia, padahal dalam pratiknya perubahan sosial diakibatkan oleh salling bertemunya kebudayaan-kebudayaan.  Dengan adanya dampak dahsyat kekuatan eksternal di luar masyarakat yang sedang dikaji maka tidak tepat jika kasus-kasus itu dibicarakan hanya dari perspektif stimulus ke adaptasi, yang menurut model Spencer merupakan satu-satunya fungsi yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal.
Apabila ingin mengetahui mengapa perubahan sosial terjadi, strategi yang baik untuk memulai adalah dengan mengamati bagaimana perubahan itu terjadi. Sayangnya, model Spencer tidak punya banyak referensi tenatang mekanisme perubahan. Kurangnya referensi ini mengakibatkan salahnya asumsi tentang unilinearitas dan memberi kesan bahwa proses perubahan tampak seolah-olah berjaan mulus dan mengikuti tahapan-tahapan yang hampir otomatis, seolah-olah satu-satunya hal yang harus dilakukan oleh suatu masyrakat adalah tinggal menaiki eskalator (mengikuti tahap-tahap). Salah satu contoh eksplisit yang tidak lazim tentang apa yang disebut model eskalator itu adalah kajian Rostow mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi, yang bermula dari tahap masyarakat tradisional lalu tahap tinggal landas akhirnya tahap konsumsi masal. Untuk pendekatan yang berlawanan dengan itu, dapat dilihat pandangan ahli sejarah ekonomi Alexander Gershenkron yang beragumen bahwa negara-negara yang agak telat melakukan industrialisasi, terutama Britania